Home » » Review Film : Les Misérables ( 2012 )

Review Film : Les Misérables ( 2012 )

Written By Unknown on Selasa, 20 Mei 2014 | 00.49

 
 
Les Misérables adalah sebuah film drama musikal Britania Raya yang diproduksi oleh Working Title Films dan didistribusikan oleh Universal Pictures. Cerita film ini berdasarkan pada musikal berjudul sama oleh Alain Boublil dan Claude-Michel Schönberg, yang juga di adaptasi dari Les Misérables, novel Perancis tahun 1862 karangan Victor Hugo. Film ini disutradarai oleh Tom Hooper, diskenarioi oleh William Nicholson, Boublil, Schönberg dan Herbert Kretzmer, serta dibintangi oleh Hugh Jackman, Russell Crowe, Anne Hathaway, dan Amanda Seyfried.

Proyek adaptasi film Les Misérables sudah direncanakan sejak akhir 1980-an. Setelah konser perayaan ke-25 tahun musikal ini pada bulan Oktober 2010, produser Cameron Mackintosh mengumumkan bahwa proyek film ini akan dilanjutkan. Hooper dan Nicholson ditawari proyek ini pada bulan Maret 2011, dan pemilihan karakter utama dilakukan pada tahun 2011. Pengambilan gambar dimulai pada bulan Maret 2012, yang dilakukan di berbagai lokasi di Winchester dan Portsmouth, Hampshire, Inggris, serta di Paris, Perancis.

Les Misérables diputar pertama kali di Empire, Leicester Square, London, pada tanggal 5 Desember 2012. Film ini dirilis pada 25 Desember 2012 di Amerika Serikat dan 11 Januari 2013 di Britania Raya. Les Misérables pada umumnya menerima ulasan positif, sebagian besar kritikus memuji akting Hugh Jackman dan Anne Hathaway, dan mereka juga dinominasikan dalam berbagai penghargaan film.

Film ini memenangkan Film Terbaik Golden Globe - Musikal atau Komedi, Aktor Terbaik (Hugh Jackman) dan Aktris Pendukung Terbaik (Anne Hathaway). Selain itu, Les Misérables juga dinominasikan dalam 9 BAFTA Awards, dan delapan nominasi Academy Award.

Walau ketika mendengar judul Les Misérables Anda kemungkinan besar akan langsung dapat membayangkan puluhan film adaptasi novel legendaris berjudul sama karya Victor Hugo yang telah dirilis sebelumnya – termasuk Les Misérables arahan Richard Boleslawski yang dirilis pada tahun 1935 dan berhasil mendapatkan nominasi di kategori Best Picture pada ajang Academy Awards, namun Les Misérables arahan Tom Hooper (The King’s Speech, 2010) adalah film layar lebar pertama yang merupakan adaptasi dari drama panggung musikal karya Alain Boublil dan Claude-Michel Schönberg yang telah begitu popular semenjak dipentaskan pada tahun 1985. Berbeda dengan film musikal kebanyakan, Hooper memperlakukan Les Misérables layaknya sebuah pertunjukan drama panggung: setiap dialog dan interaksi antar karakter disajikan dalam bentuk nyanyian serta setiap pemeran diharuskan untuk menyanyikan langsung dialog tersebut selama proses produksi Les Misérables berlangsung. Sebuah tantangan yang jelas memiliki resiko tinggi. Namun apakah Hooper mampu menghantarkan drama panggungnya sendiri dengan baik?

Les Misérables sendiri memulai kisahnya dengan latar belakang negara Perancis pada tahun 1815. Dikisahkan bahwa seorang narapidana, Jean Valjean (Hugh Jackman), baru saja dilepaskan dari masa tahanannya yang telah berjalan selama sembilan belas tahun akibat mencuri potongan roti. Walau telah bebas, Jean Valjean mendapatkan status berada di bawah pengawasan tetap dari seorang polisi bernama Javert (Russell Crowe) yang kemudian akan mengikuti dan terus mencari jejak Jean Valjean kemanapun dirinya pergi. Merasa masa lalunya adalah sebuah potongan kisah yang kelam, Jean Valjean memilih untuk melupakan masa lalunya tersebut dengan bepergian ke sebuah tempat yang jauh dan memulai kembali hidupnya dengan sebuah identitas baru.

Delapan tahun berlalu, Jean Valjean kini menjadi walikota Montreuil-sur-Mer. Pun begitu, Javert masih senantiasa memburu dirinya dan mulai mencium jejaknya di kota tersebut. Perjumpaan Jean Valjean dengan seorang wanita bernama Fantine (Anne Hathaway), yang lalu menitipkan anaknya, Cosette (Isabelle Allen), kepada dirinya secara perlahan mulai membuka kembali masa lalu kelam Jean Valjean. Guna melarikan diri dari Javert, Jean Valjean kembali meninggalkan hidup yang telah dibangunnya selama ini. Sembilan tahun kemudian, Jean Valjean hidup secara terasing bersama Cosette yang telah tumbuh dewasa (Amanda Seyfried). Pilihan untuk mengasingkan diri jelas diambil Jean Valjean agar Javert tidak mengetahui keberadaan dirinya. Namun, ketika Cosette terlibat dalam sebuah hubungan asmara dengan seorang pemuda bernama Marius (Eddie Redmayne) dan terjebak dalam situasi politik Perancis yang sedang memanas, apakah Jean Valjean harus memilih untuk kabur dari masa lalunya kembali?

Tom Hooper mampu memperkenalkan Les Misérables secara fantastis pada 60 menit pertamanya. Deskripsi mengenai karakter-karakter awal seperti Jean Valjean, Javert dan Anne Hathaway serta hubungan yang terjalin antara mereka dengan latar belakang kekacauan yang terjadi di berbagai sudut negara Perancis mampu dihadirkan dengan begitu emosional. Puncaknya adalah ketika karakter Fantine yang diperankan oleh Anne Hathaway menyanyikan I Dreamed a Dream yang mengisahkan mengenai kepedihan jalan hidup yang harus ia lalui. Hathaway menumpahkan seluruh emosinya kepada penampilan tersebut dan akan mampu membuat seluruh penonton merasakan pedihnya penderitaan hidup Fantine. Sayangnya, penampilan I Dreamed a Dream oleh Hathaway sekaligus menjadi klimaks Les Misérables yang kemudian gagal untuk diulangi kembali pada kelanjutan kisah film ini – yang, tentu saja, masih bersisa sepanjang 90 menit lagi.

Ketika Les Misérables bertutur mengenai kehidupan karakter Jean Valjean dan Cosette yang telah dewasa, Les Misérables harus diakui tetap mampu dikemas secara menarik – secara teknikal dan penampilan setiap jajaran pemeran yang tetap mempesona. Namun Hooper gagal menyajikan tuangan emosi yang sebenarnya dibutuhkan oleh penonton untuk dapat terkoneksi pada setiap karakter yang hadir dalam jalan cerita film ini. Konsentrasi yang penuh terhadap penyajian tampilan musikal film ini seperti membuat naskah cerita Les Misérables secara perlahan menyingkirkan penggalian karakter yang seharusnya mampu membuat setiap karakter yang ada di dalam jalan cerita film ini tampil menarik. Dangkalnya karakterisasi inilah yang membuat hubungan cinta antara karakter Cosette dan Marius terasa hambar atau dramatisnya revolusi Perancis seringkali terlihat kurang menarik atau intrik yang terbentuk dalam hubungan karakter Jean Valjean dan Javert terasa berjalan dengan datar pada kelanjutan kisah Les Misérables. Satu-satunya penampilan musikal yang mungkin akan dapat mendekati tingkatan emosional I Dreamed a Dream oleh Anne Hathaway adalah penampilan Samantha Barks lewat On My Own, yang, sayangnya, lagi-lagi hadir dalam kapasitas terbatas.

Adalah sebuah pilihan berani bagi Hooper untuk menerapkan teknik menyanyikan setiap penampilan musikal Les Misérables secara langsung di lokasi pengambilan gambar oleh setiap jajaran pemeran film ini daripada merekamnya terlebih dahulu di studio rekaman. Pilihan yang jelas diambil Hooper agar hantaran emosi di setiap lagu mampu tampil lebih kuat dan menyentuh. Namun sepertinya formula tersebut justru berbalik arah dan menghasilkan reaksi yang berlawanan. Pada kebanyakan bagian, para pemeran Les Misérables terlihat terlalu berkonsentrasi untuk menyanyikan lagu yang mereka dapatkan sehingga gagal untuk menyalurkan emosi yang sebenarnya tertanam pada lagu tersebut. Dari segi akting, deretan pengisi departemen akting film ini mampu menampilkan penampilan terbaik mereka. Namun dari segi nyanyian… jelas Russell Crowe, Sacha Baron Cohen dan Helena Bonham Carter (serta Amanda Seyfried?) terlihat datar jika dibandingkan dengan penampilan Anne Hathaway, Samantha Barks, Hugh Jackman dan Eddie Redmayne.

Untuk menyatakan Les Misérables sebagai sebuah karya yang gagal jelas akan merendahkan berbagai usaha dan hasil yang dicapai oleh Tom Hooper dalam film musikal ini. Hooper berhasil menyusun Les Misérables tampil dengan begitu mempesona pada kualitas desain produksi maupun pengarahan akting pada seluruh jajaran pemeran filmnya. Sayangnya, konsentrasi yang penuh terhadap penampilan musikal pada film ini seperti membuat Hooper lengah dan akhirnya melupakan bahwa karakter-karakter di dalam jalan ceritanya butuh tampilan emosi yang lebih kuat untuk membuat mereka mampu tampil lebih menarik bagi kebanyakan penonton. Sebuah sajian yang indah, namun gagal untuk tampil lebih mengikat secara emosional.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan kata-kata yang baik dan sopan :)

Recent Post

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Breaking The Gravity - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger